Sekitar 4
tahun yang lalu salah seorang tetangga simbah yang sudah nenek-nenek memutuskan
menghabisi hidupnya dengan gantung diri. Beberapa sohib menanyakan pada simbah
mau menyolatkan jenazah apa tidak. Simbah menyatakan gak ikut solat, tapi juga
tidak melarang yang mau menyolatkan. Yang menarik adalah kata sambutan pada
saat pemakaman :
“Semoga arwah jenazah diterima
di sisi Allah swt dan mendapat ridho-Nya. Serta amalan baiknya mendapatkan
balasan yang yang pantas di akherat.”
Kata sambutan tersebut diucapkan di tengah keluarga jenazah yang
justru sangat menyesali tindakan si nenek dan yakin bahwa apa yang dikerjakan
oleh sang nenek adalah jalan yang salah. Namun saat hari ketiga, ketujuh dan
keempatpuluh, tetap saja anggota keluarga mengadakan acara tahlilan dan kirim
doa. Dengan tingkat pengharapan pada lepel “siapa tahu” nyampek.
Dan sang tamu juga mendatangi acara tersebut, walau dengan glenak-glenik gak enak, karena kedatangannya hanya
sekedar basa-basi agar tak menyakiti sohibul bait. Simbah merasakan nuansa
aneh, asing, gak wajar, dan mbuhraruh. Sejak dari acara sambutan takziah sampe
tahlilan yang disertai acara kirim doa tersebut. (Tentu saja ini di luar
pembahasan masalah ikhtilaf tentang bid’ah sunnahnya tahlilan lho…)
Suasana yang sama juga simbah rasakan saat acara panggung gembira Pitulasan alias tujuhbelasan di kampung. Acara
yang dari A, B, C, D sampai X dan Y nya penuh dengan glamour pertunjukan
tarian, nyanyi, sampai pamer pupu dan susu, tiba-tiba saat sampai di Z, diakhiri dengan
doa yang dibacakan oleh Kyai bersorban sebesar bedug yang diamini dengan hikmat
kebijaksanaan oleh segelintir penonton, karena 90% penontonnya sudah tinggal
glanggang colong playu alias minggat dari area panggung. Simbah merasakan ada
yang janggal dengan pembacaan doa tersebut. Nilainya hanya sekedar menjadi
asesoris pelengkap penggembira dari acara hura-hura.
Sayangnya,
simbah juga merasakan hal yang sama di saat bulan Ramadhan. Lho kok bisa?
Anehnya di mana? Kan itu bulan penuh berkah, penuh rahmat, dan penuh segala
yang baik-baik..?
Sebagaimana
diketahui, di bulan Ramadhan hampir tiap ustadz, kyai, para Gus, Lora, khotib
dan mubaligh dari tingkat nasional sampai ndeso kluthuk mengobral ayat
keutamaan Ramadhan dan pentingnya mengendalikan hawa napsu. Mereka masup ke
semua lini. Dari majelis ibu-ibu dan embah-embah sampai ke instansi-instansi
yang secara dadakan mengadakan acara taklim, baik karena desakan dari atas
ataupun karena dalam rangka menghabiskan anggaran.
Namun pesan
keutamaan bulan Ramadhan dan pentingnya mengendalikan hawa napsu itu sepertinya
hanya lewat saja. Di bulan puasa rata-rata para shoimun mengkonsumsi makanan
lebih mburog dari hari biasanya. Budget pengeluaran makanan juga membengkak.
Makanan yang tidak lazim ada di luar puasa, tiba-tiba ada dengan segala pariasi
rasa dan warna. Majalah tata boga dan kuliner sibuk menawarkan resep makanan
aneka macem. Dari kelas Ongol-ongol sampe Pizza, dari buah kelas apel plothot
sampe apel washington dipajang dan ditawarkan.
Padahal melihat jenis makanannya
saja, nggak usah puasa dulu pasti ludes masuk perut. Apalagi jika perut
dilaparkan dulu… wah sansoyo nggragas. Ibarat
macan cluthak lapar yang seminggu gak kesentuh
daging, lalu tiba-tiba disodori daging seger diguyur santen sampe mlekoh (jadi inget eyem penggengnya pak
Ageng)… weehhh… hawa napsu mana yang bisa tahaan..
Semoga puasa
tahun ini jangan seperti yang sudah-sudah. Hanya menjadi basa-basi religius.
Jilbab dipake, kultum digelar, ustadz-ustadz berceramah hampir 24 jam non stop,
siaran tipi jadi islami semua, bahkan sinetron pun judulnya berganti menjadi
nama-nama muslimah semua…. atas nama rating. Sedangkan perilaku di luar itu tak
berubah.
Ramadhon hanyalah menjadi panggung
tontonan berdurasi sebulan. Semua terpaksa menjadi orang lain demi tuntutan
peran panggung. Begitu panggung bubar, topeng dilepas, make up dihapus, pupur diraupi, benges dilap,
selesai sudah. Lalu.. ya Korupsi lagi, pungli lagi, zina lagi, melacur lagi,
pamer aurat lagi.. lagi dan lagi.
Sudah 61 kali
bangsa ini melewati Ramadhon di ala kemerdekaan. Sayang kok ya tambah korup.
Nggak orde lama yang korupsinya bikin inflasi sampai ratusan persen, orde baru
yang korupsinya ngudubilah setan, orde reformasi pun hanya mampu mereformasi
cara korupsi. Yang tadinya gitu-gitu aja, direformasi menjadi pariasi, yang
intinya tetep saja korupsi. Lha 61 kali nglewati romadhon itu model puasanya
kayak opo tho yo…?? Semoga puasa tahun ini bisa menjadi puasa yang mabrur.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar