Baboeng's Pages

Baboeng's Greeting

Glitter Words

Jumat, 05 Juli 2013

Basa Basi


Sekitar 4 tahun yang lalu salah seorang tetangga simbah yang sudah nenek-nenek memutuskan menghabisi hidupnya dengan gantung diri. Beberapa sohib menanyakan pada simbah mau menyolatkan jenazah apa tidak. Simbah menyatakan gak ikut solat, tapi juga tidak melarang yang mau menyolatkan. Yang menarik adalah kata sambutan pada saat pemakaman :
“Semoga arwah jenazah diterima di sisi Allah swt dan mendapat ridho-Nya. Serta amalan baiknya mendapatkan balasan yang yang pantas di akherat.”
Kata sambutan tersebut diucapkan di tengah keluarga jenazah yang justru sangat menyesali tindakan si nenek dan yakin bahwa apa yang dikerjakan oleh sang nenek adalah jalan yang salah. Namun saat hari ketiga, ketujuh dan keempatpuluh, tetap saja anggota keluarga mengadakan acara tahlilan dan kirim doa. Dengan tingkat pengharapan pada lepel “siapa tahu” nyampek. Dan sang tamu juga mendatangi acara tersebut, walau dengan glenak-glenik gak enak, karena kedatangannya hanya sekedar basa-basi agar tak menyakiti sohibul bait. Simbah merasakan nuansa aneh, asing, gak wajar, dan mbuhraruh. Sejak dari acara sambutan takziah sampe tahlilan yang disertai acara kirim doa tersebut. (Tentu saja ini di luar pembahasan masalah ikhtilaf tentang bid’ah sunnahnya tahlilan lho…)
Suasana yang sama juga simbah rasakan saat acara panggung gembira Pitulasan alias tujuhbelasan di kampung. Acara yang dari A, B, C, D sampai X dan Y nya penuh dengan glamour pertunjukan tarian, nyanyi, sampai pamer pupu dan susu, tiba-tiba saat sampai di Z, diakhiri dengan doa yang dibacakan oleh Kyai bersorban sebesar bedug yang diamini dengan hikmat kebijaksanaan oleh segelintir penonton, karena 90% penontonnya sudah tinggal glanggang colong playu alias minggat dari area panggung. Simbah merasakan ada yang janggal dengan pembacaan doa tersebut. Nilainya hanya sekedar menjadi asesoris pelengkap penggembira dari acara hura-hura.
Sayangnya, simbah juga merasakan hal yang sama di saat bulan Ramadhan. Lho kok bisa? Anehnya di mana? Kan itu bulan penuh berkah, penuh rahmat, dan penuh segala yang baik-baik..?
Sebagaimana diketahui, di bulan Ramadhan hampir tiap ustadz, kyai, para Gus, Lora, khotib dan mubaligh dari tingkat nasional sampai ndeso kluthuk mengobral ayat keutamaan Ramadhan dan pentingnya mengendalikan hawa napsu. Mereka masup ke semua lini. Dari majelis ibu-ibu dan embah-embah sampai ke instansi-instansi yang secara dadakan mengadakan acara taklim, baik karena desakan dari atas ataupun karena dalam rangka menghabiskan anggaran.
Namun pesan keutamaan bulan Ramadhan dan pentingnya mengendalikan hawa napsu itu sepertinya hanya lewat saja. Di bulan puasa rata-rata para shoimun mengkonsumsi makanan lebih mburog dari hari biasanya. Budget pengeluaran makanan juga membengkak. Makanan yang tidak lazim ada di luar puasa, tiba-tiba ada dengan segala pariasi rasa dan warna. Majalah tata boga dan kuliner sibuk menawarkan resep makanan aneka macem. Dari kelas Ongol-ongol sampe Pizza, dari buah kelas apel plothot sampe apel washington dipajang dan ditawarkan.
Padahal melihat jenis makanannya saja, nggak usah puasa dulu pasti ludes masuk perut. Apalagi jika perut dilaparkan dulu… wah sansoyo nggragas. Ibarat macan cluthak lapar yang seminggu gak kesentuh daging, lalu tiba-tiba disodori daging seger diguyur santen sampe mlekoh (jadi inget eyem penggengnya pak Ageng)… weehhh… hawa napsu mana yang bisa tahaan..
Semoga puasa tahun ini jangan seperti yang sudah-sudah. Hanya menjadi basa-basi religius. Jilbab dipake, kultum digelar, ustadz-ustadz berceramah hampir 24 jam non stop, siaran tipi jadi islami semua, bahkan sinetron pun judulnya berganti menjadi nama-nama muslimah semua…. atas nama rating. Sedangkan perilaku di luar itu tak berubah.
Ramadhon hanyalah menjadi panggung tontonan berdurasi sebulan. Semua terpaksa menjadi orang lain demi tuntutan peran panggung. Begitu panggung bubar, topeng dilepas, make up dihapus, pupur diraupi, benges dilap, selesai sudah. Lalu.. ya Korupsi lagi, pungli lagi, zina lagi, melacur lagi, pamer aurat lagi.. lagi dan lagi.
Sudah 61 kali bangsa ini melewati Ramadhon di ala kemerdekaan. Sayang kok ya tambah korup. Nggak orde lama yang korupsinya bikin inflasi sampai ratusan persen, orde baru yang korupsinya ngudubilah setan, orde reformasi pun hanya mampu mereformasi cara korupsi. Yang tadinya gitu-gitu aja, direformasi menjadi pariasi, yang intinya tetep saja korupsi. Lha 61 kali nglewati romadhon itu model puasanya kayak opo tho yo…?? Semoga puasa tahun ini bisa menjadi puasa yang mabrur.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar